Jumat, 31 Oktober 2014

Pendekatan normatif Studi Islam



Pendekatan Normatif Dalam Studi Islam


            Dalam melakukan pendekatan dan pengkajian dalam studi Islam memiliki berbagai macam pendekatan. Sehingga dalam melakukan studi atau penelitian maka sangat perlu ada sebuah kejelasan Islam mana yang diteliti. Tak terkecuali dalam pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak,dan sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fiqih (Usuliyah), ahli hukum Islam (Fuqaha),ahli tafsir (mufassirin) yang berusaha menggali aspek legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan normatif. [1][1]
            Sisi lain dengan pendekatan normatif adalah bahwa secara umum ada dua teori yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif-teologis. Pertama,ada hal-hal yang untuk mengetahui kebenarannya dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Kedua, ada hal-hal yang sulit dibuktikan secara empiris dan eksperimental. Untuk ha-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan ra’yi (penalaran). Sedangkan masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.
            Ada beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendelatan normatif, disamping teori-teori yang digunakan oleh para fuqaha’, usuliyin, muhadditin, dan mufassirin, diantaranya adalah teori teologis-folosofis, yaitu pendekatan memahami al-Qur’an dengan cara mengintrepretasikannya secara logis-filosofis,yakni mencari nilai-nilai objektif dari subjektif al-Qur’an. Selanjutnya teori lain yakni normatif-sosiologis atau sosiologis teologis yang ditawarkan oleh Asghar Ali Engerineer dan Tahnir al-Haddad,yakni dalam memahami nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Ada pemisahan antara nash normative dengan nash sosiologis. Nash normative adalah nash yang tidak tergantung pada konteks. Sementara nash sosiologis adalah nash yang pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks,waktu,tempat,dan konteks lainnya.
            Dalam memahami nash, khususnya al-Qur’an, Muhammad Izzat darwaz mengatakan bahwa al-Qur’an berisi dua pokok :
1.      Prinsip fundamental (usul)
2.      Alat/penghubung untuk mencapai prinsip-prinsip fundamental tersebut.
            Prinsip-prinsip tersebut penting karena didalamnya mengandung tujuan wahyu dan dakwah Nabi. Hal-hal yang termasuk prinsip adalah menyembah Allah dan harus menyediakan kode etik (norma) yang lengkap (komprehensif) tentang tindakan-tindakan (syariah). Yang lainnya seperti janji Allah akan membalas perbuatan baik di akhirat berupa surga dan akan menyiksa orang-orang yang dzalim atau jahat dengan hukuman neraka, sejarah Nabi dan semacamnya adalah penghubung.[2][2]
            Dalam kajian yang lainnya yakni dalam sisi teologis sangat erat juga kaitannya dengan pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan,tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam,secara normatif pasti benar,menjunjung nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadist Nabi Saw.
Untuk bidang sosial misalnya dalam ajarannya agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong,tenggang rasa,persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan,kebersamaan,kejujuran dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan,agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu setinggi-tingginya,menguasai ketrampilan,keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan lingkungan hidup,kebudayaan politik,dan sebagainya agama tampil ideal dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.


[1][1].Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, ( Jogjakarta : academia,2010) hlm190
[2][2] Khoiruddin Nasution, ibid, hlm 191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar