Kamis, 12 Mei 2016

Psikologi Pendidikan - Teori-teori Belajar

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip-prinsip umum atau kolaborasi antara prinsip-prinsip yang saling berhubungan. Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses  yang kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme.
Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan, yang lebih penting untuk kita pahami adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam  ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya mengenai teori-teori belajar akan saya paparksn beberapa teori-teori yang akan digunakan dalam sebuah proses pembelajaran.
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan teori belajar?
b.      Apa saja teori-teori belajar?

B.     Pembahasan
1.      Teori Belajar
Memasuki  abad ke-19 beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimantal tentang teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperiman itupun dapat berlaku bahkan dapat lebih berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas dari pada binatang.
Dari berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gredler Margaret Bell, 1986) memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi (a) teori belajar Behavioritik (b) teori belajar kognitif (c) teori belajar humanistic (d) teori belajar psikoanalisis. Keempat aliran belajar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, yakni aliran behavioristik menekankan pada “hasil” dari pada proses belajar. Aliran kognitif menekankan pada “proses”  belajar. Aliran humanistic menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari. Aliran Psikoanalisis menekankan pada “kejiwaan”.
Para psikologi pendidikan memunculkan istilah teori belajar setelah mereka mengalami kesulitan ketika akan menjelaskan proses belajar secara  menyeluruh. Berawal dari kesulitan tersebut munculah beberapa persepsi berbeda dari para psikolog, sehingga menghasilkan dalil-dalil yang memiliki inti kalau teori belajar adalah alat bantu yang sistematis dalam proses belajar.[1]
Teori-teori belajar dikalangan psikolog bersifat eksperimental, dimana teori yang mereka kemukakan hanyalah berupa pendapat dari pengalaman mereka ketika dalam kegiatan belajar berlangsung. Dari interaksi tersebut, para psikolog menyusun proposisi yang mereka tekuni sehingga menghasilkan madzhab yang mereka ciptakan itu bisa digunakan sebagai landasan pola pikir mereka.
2.      Macam-macam Teori Belajar
a.       Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.[2]
Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran ini disebabkan rasa tidak puas terhadapa teori psikologi daya dan teori mental state. Sebabnya ialah karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi kesadaran saja.
Menurut aliran behaviorisme, bahwa:
1)      The image and memories consist of activites engaged in by the organism.       We wake certain responses, we act and this activities are knnown as images.
2)      Behaviorism in psikology is merely the name for that type of investigation and theory which assumes that men’s educational, vocation and social activities can be completely described or explained as the result of same (and other) forces used in the natural sciences.
Didalam behaviorisme masalah matter (zat) menempati kedudukan yang utama. Jadi, melalui kelakuan segala sesuatu tentang jiwa dapat diterangkan. Dengan memberikan rangsangan (stimulus) maka siswa akan merespons. Hubungan antara stimulus – respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar. Dengan latihan-latihan  maka hubungan-hubungan itu akan semakin menjadi kuat. Inilah yang disebut S-R Bond Theory.
Keberatan terhadap teori ini adalah karena teori ini menekankan pada refleks dan otomatisasi dan melupakan kelakuan yang bertujuan (a purposive behavior).[3]
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksi (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga Psokoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak).[4]
Teori belajar psilologi behavioristik dikemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement”) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tinkah laku tersebut.[5]
Ciri- ciri aliran Behaviorisme:
(1)   Mementingkan pengaruh lingkungan.
(2)   Mementingkan bagian-bagian dari pada keseluruhan.
(3)   Mementingkan reaksi psikomotor.                 
(4)   Mementingkan sebab-sebab masa lampau.
(5)   Mementingkan pembentukan kebiasaan.
(6)   Mengutamakan mekanisme terjadinya hasil belajar.
(7)   Mengutamakan “trial and error”.[6]        
b.      Teori Pembiasaan Klasik
Teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuan berkebangsaan Rusia. Pada dasarnya classical conditioning merupakan sebuah prosedur penciptaan reflek baru dengan mendatangkan stimulus sebelum terjadi nya reflek tersebut.
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.[7]
Pavlov mengadakan percobaan terhadap anjing yang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Dari hasil percobaannya, sinyal (pertanda memainkan peran yang sangat penting dalam akdaptasi hewan terhadap sekitarnya.
Teori Classical conditioning yang ditemukan pavlov didasarkan pada tiga proses, yaitu: pertama, penyamarataan (generalization) sebab respon dikondisikan dengan kehadiran stimulus yang sama melalui keluarnya air liur; kedua, perbedaan (discimination) untuk merespon apabila ada perangsang makanan kemulutnya; ketiga, pemadaman (extinction) terjadi ketika stimulus disajikan berulang-ulang tanpa adanya stimulus berupa makanan.
Kesimpulan dari percobaan pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS), cepat atau lambat akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita kehendaki dalam CR. Skinner berpendapat bahwa percobaan Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda, yakni: law of respondent conditioning atau hukum pembiasaan dan law of respondent extinction atau pemusnahan yang dituntut.[8]
c.       Teori Belajar Koneksionisme
            Teori ini ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874/1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena-fenomena belajar.
Prinsip teori Thorndike adalah belajar asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan implus untuk bertindak (impulse to action). Asosiasi itulah yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itulah, teory thorndike disebut Connectionism atau bond psychology.
Awal eksperimennya menggunakan kucing, ketika eksperimen awal ini berhasil maka ia melanjutkan pada hewan lainnya. Kucing dibiarkan kelaparan, kemudian ia dimasukkan kedalam kotak yang sudah dirancang khusus, sehingga jika kucing itu mnyentuh tombol pintu maka pintu itu akan terbuka dan ia dapat keluar dan mencapai daging yang dijadikan umpan diluar kandang. Pada usaha pertama  ia belum terbiasa memecahkan problemnya, sampai kemudian berhasil menemukan tombol tersebut. Waktu yang dibutuhkan dalam usaha pertama agak lama. Percobaan yang sam dilakukan secara berulang-ulang.
Dengan terlatihnya proses belajar dari kesalahan (trial and error), maka watu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu semakin singkat. Teori trial and error learning mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Adanya motif yang mendorong akktivitas.
2)      Adanya berbagai respon terhadap situasi.
3)      Adanya eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
4)      Adanya kemajuan reaksi-reaksi dalam mencapai tujuan.
Menurut thorndike, dasar proses belajar pada hewan maupun pada manusia adalah sama. Baik belajar pada hewan maupun manusia, menggacu pada tiga hukumbelajar pokok, yaitu:
a)      Law of Readiness adalah reaksi terhadap stimulus yang didukung kesiapan untuk bertindak dan reaksi itu menjadi memuaskan.
b)      Law of Exercise ialah hubungan stimulus respon apabila dering digunakan akan semakin kuat melalui repetitton atau pengulangan
   i.            Law of Use: Hubungan stimulus respon bertambah kuat jika ada latihan.
  ii.            Law of Disuse: Hubungan stimulus respon bertambah lemah jika latihan dihentikan.
c)      Law of Effect  ialah menunjukkan kepada makin kuat atau lemahnya hubungan sebagai akibat dari pada hasil respon yang dilakukan.[9]
d. Teori Gestalt
Menurut aliran ini jiwa manusia adalah suatu keseluruhan ynag berstruktur. Suatu keseluruhn bukan terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Unsur-unsur itu berada dalam keseluruhan menurut struktur yang telah terbentuk dan salin berinterelasi satu sama lain.
Teori psikologi gestalt sangat berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.     Tingkah laku terjadi berkat interaksi antar individu dan lingkungannya.
2.      Individu berada dalam keadaan keseimbangan yang dinamis, adanya ganguan terhadap keseimbangan itu akan mendorong terjadinya tingkah laku.
3.      Belajar mengutamakan aspek pemahaman (insight) terhadap situasi problematis.
4.      Belajar menitikberatkan pada situasi sekarang, dalam situasi tersebut menemukan dirinya.
5.      Belajar dimulai dari keseluruhan dan bagian-bagian hanya bermakna dalam keseluruhan itu.[10]
C.     Simpulan



[1] Mahmud, Psikologi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm., 72
[2] Akhmad Sudrajat,  “Teori-teori Belajar”, http://www.scribd.com/cod/15874999/teoriteori-belajar.
[3] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm., 38-39
[4] Muhammad, “Psikologi Aliran Behaviorisme”, http://www.psikologi.or.id.
[5] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2001), Cet.2, hlm. 30.
[6] Mustaqim, Ilmu JIwa Pendidikan, Edisi Revisi, (Semarang: CV. Andalan Kita, 2010), hlm. 56.
[7] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, hlm., 104
[8] Bahrudin, Pedidikan dan Psikologi Perkembangan, Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2010, hlm., 169
[9] Bahrudin, Pedidikan dan Psikologi Perkembangan, Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2010, hlm., 166-167
[10] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm., 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar