BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika islam diperkenalkan sebagai pola dasar, kaum Muslimah telah
dijanjikan oleh Al – Quran akan menjadi komunitas terbaik dipanggung sejarah
bagi sesama umat manusia lainnya. Akibatnya diterimanya dorongan ajaran seperti
ini , secara tidak langsung telah memberikan produk pandangan bagi mereka sendiri
untuk melakukan permainan budaya sebaik mungkin.
Terdapat banyak perspektif dalam membaca banyak fakta sejarah
, terutama terhadap sejarah peradaban umat Islam. Perbedaan cara pandang
tersebut sebagai akibat dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang berbeda.
Hal itu dipicu dari keberagaman teori sejarah. Lebih–lebih sejarah islam yang
sebagian besar adalah sejarah tentang polotik dan kekuasaan yang berujung pada
kepentingan kelompok maupun individual semata.
Banyak terjadi kerancuan-kerancuan ketika pemerintahan sudah
tidak berada dibawah kendali Rasulullah. Dalam hal ini terdapat empat khalifah
yg menggantikan Nabi dalam memimpin Umat Islam dengan selalu berpegang pada al
Qur’an dan Sunnah. pada periode ini, masih mencerminkan pola- pola yang digagas
dan dipraktekkan oleh Rasululah dalam menata dan mengurusi umat Islam, terutama
pada periode Abu Bakar yang sepenuhnya
hampir tidak melakukan perubahan-perubahan kebijakan.
Adapun format peradaban tampaknya lebih
bnyak dilakukan oleh dua khalifah berikutnya yaitu Umar bin Khathab dan Ustman
bin Affan. Hal ini dikarenakan mereka memerintah lebih lama dibandingkan dengan
Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, sehingga fakta sejarah menunjukkan bahwa
zaman al Khulafa’ur Rasyidin tersebut termasuk kedalam zamann
perkembangan Islam yang cemerlang yang ditandai dengan ekspansi, integrasi,
pertumbuhan, dan kemajuan yang menunjukkan perdaban tersendiri dengan segala karakteristiknya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Khulafaur Rasyidin?
2. Bagaimana Problematika dan realitas kepemimpinan Khalifah Abu Bakar?
3. Bagaimana
kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab?
4. Bagaimana kepemimpinan
Khalifah Utsman bin Affan?
5. Bagaimana
kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui arti Khulafaur Rasyidin
2. Mengetahui Problematika dan realitas kepemimpinan Khalifah Abu Bakar
3. Mengetahui kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab
4. Mengetahui kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
5. Mengetahui kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulafaur Rasyidin
Menurut bahasa, Khalifah
(خليفة Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa , yang berarti :
menggantikan atau menempati tempatnya. Menurut istilah adalah gelar yang
diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata
"Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti"
atau "perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan
khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta
isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi
Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga menggantikannya
sebagai penguasa sebuah edentitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana
diketahui bahwa Muhammad saw selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam,
Penguasa, Panglima Perang, dan lain sebagainya.
Adapun yang dimaksud
dengan Khulafaur Rasyidin adalah para
pemimpin pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil,
bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat
petunjuk dari Alloh. Tugas Khulafaur Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan
Rosulullah dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika tugas Rosulullah
terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur
Rasyidin bertugas menggantikan kepemimpinan Rasulullah dalam masalah kenegaraan
yaitu sebagai kepala Negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun tugas kerosulan tidak dapat digantikan
oleh Khulafaur Rasyidin karena
Rasulullah adalah Nabi dan Rosul yang terakhir.
Setelah Beliau tidak ada lagi Nabi dan Rosul lagi.
Tugas Khulafaur Rasyidin sebagai kepala Negara adalah mengatur
kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur, aman, dan
sentosa. Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur Rasyidin bertugas mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan masalah keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka
kholifah yang berhak mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin
dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga
setiap kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin.
Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin umat
Islam dari kalangan sahabat pasca Nabi wafat. Mereka merupakan pemimpin yang
dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa
yang terpilih, maka sahabat yang lain memberikan baiat (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Ada dua
cara dalam pemilihan khalifah ini , yaitu : pertama, secara musyawarah
oleh para sahabat Nabi. Kedua, berdasarkan atas penunjukan khalifah
sebelumnya. Sahabat Rosulullah yang termasuk Khulafaur Rasyidin adalah:
a) Abu Bakar As Shiddiq
(11 – 13 H / 632 – 634 M)
b) Umar Bin Khattab (13
– 23 H / 634 – 644 M)
c) Utsman Bin Affan (24
– 36 H / 644 – 656 M)
A. KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ (11-13 H/ 632-634 M)
1.
Abu Bakar Khalifah Umat Islam
Sebelum Rasulullah meninggal dunia, konon
Rasulullah tidak berwasiat siapa yang akan menjadi penggantinya. Hal ini kemudian terjadi kesibukan tersendiri bagi umat islam untuk
mencari pengganti yang tepat setelah Rasulullah, ini terutama menimpa kalangan
Muhajirin dan Anshar. Sehimgga, sebelum terpilihnya tokoh Abu Bakar sebagai
khalifah, sempat terjadi kontroversi dikalangan umat yang diwakili oleh
masing-masing wakil kelompok dalam menentukan siapa yang pantas memimpin
mereka.
Harus
diakui bahwa menentukan pilihan pemimpin ini memiliki arti penting dan trategis
bagi kelangsungan komunitas umat Islam sepeninggalan Rasulullah. Hal ini
selanjutnya berarti akan terlalu merugikan bagi umat Islam jika pemilihan
tersebut gagal menentukan figur terbaik yang bisa diterima oleh semua kalangan
Islam.
Realitasnya adalah bahwa waktu itu
terdapat dua kelompok besar yang saling bersaing lewat pemilihan tersebut.
Yakni kelompok Anshor dan Muhajirin. Karenanya wajar kalau kemudian sempat
terjadi ketegangan dalam proses
pemilihan khalifah yang berlangsung di Saqifah Bani Saidah ini. Keterangan lain
juga menyebutkan bahwa kelompok Bani Hasyim pun punya kepentingan dalam
pemilihan tersebut. Ada juga aspirasi suku-suku Nomad yang tidak mau tunduk
pada wilayah Madinah apabila pemimpin mereka bukan dari suku Quraisy.
Sebenarnya
sejak awal, baik kelompok Muhajirin maupun kelompok Amshar menginginkan jabatan
khalifah ini, mereka mengajukan argument yang dapat memperkuat posisi tuntutan
mereka tersebut. Golongan Anshor dan suku Khazraj, misalnya mengajukan Sa’d bin
Ubadah, tokoh ini tercatat sebagai orang yang tidak pernah menyatakan bai’ahnya
kepada Abu Bakar dan Umar sampai akhir hayatnya sebagai calon khalifah. Abu
Bakar (kelompok Muhajirin) pada awalnya mengajukan Umar bin Khatab dan Sa’d ibn
Ubadah sebagai calon khalifah. Akhirnya lewat proses perdebatan yang panjang
terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Disamping karena kemampuan dan
senioritasnya agaknya kepentingan bersama dan stabilitas politiklah yang turut
melatarbelakangi terpilihnya tokoh Abu Bakar sebagai khalifah. Diantara faktor
yang mendukung terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dia orang yang
menggantikan Rasul sebagai imam shalat ketika Rasulullah sakit, dia juga orang
yang menemani Rasulullah saat hijrah dan dia adalah sahabat senior yang awal
memeluk Islam.
Maka
sejak saat itu Abu Bakar sebagai khalifah umat Islam. Ia disebut sebagai khalifat
al-rasulillah, yang berarti pengganti Rasulullah. Yang membedakannya dengan
Rasul adalah kalau Rasulullah itu memiliki otoritas sebagai pemimpin agama dan
negara, tetapi Abu Bakar hanya memiliki otoritas kenegaraan saja, karena memang
Abu Bakar bukan sebagai nabi. Dengan otoritasnya sebagai pemimpin negara maka
dia memiliki kekuasaan untuk memimpin masyarakat Madinah sebagaimana yang
dilakukan dan dimiliki oleh para pemimpin yang lain.
Pada
saat Abu Bakar sebagai kepala negara, ia mendapatkan beberapa tugas berat yang
perlu penyelesaian. Diantara permasalahan yang muncul selama dia menjabat
sebagai khalifah antara lain adalah munculnya nabi-nabi palsu, orang-orang yang
tidak mau membayar zakat, juga orang-orang yang murtad (keluar dari Islam).
Dalam hal ini Abu Bakar berusaha untuk menyelesaikannya secara persuasif,
walaupun pada kondisi tertentu Abu Bakar terpaksa harus bertindak secara tegas.
Abu Bakar tidak mau membiarkan ketiga masalah tersebut berlarut-larut karena
hal itu merugikan umat Islam sendiri. Selama pemerintahannya ia tercatat sukses
menyelesaikan ketiga masalah tersebut.
Sebenarnya
ketiga kasus dalam negeri yang dihadapi oleh Abu Bakar ini tidaklah berdiri
sendiri. Walaupun untuk mengatakan bahwa ketiganya saling terkait secara utuh
adalah juga tindakan yang terlalu terburu-buru. Munculnya sebagian dari
orang-orang murtad yang enggan membayar zakat, misalnya merupakan hasil
propaganda dari mereka yang mengaku dirinya nabi yang berhasil mengumplkan
massa dalam jumlah besar untuk menentang Madinah. Diantara mereka yang mengaku
dirinya nabi tersebut adalah Musailamah dan Al-Aswan Ansi, yang akhirnya keduanya
mati terbunuh pada waktu gerakan penumpasan, juga Rulaihah yang masuk Islam
pada masa Umar dan Sajan, seorang wanita Nasrani. Mereka diserang Abu Bakar
karena mereka merugikan umat islam dengan propaganya yang tidak mau membayar
zakat, sedangkan zakat sangat penting dalam kehidupan negara.
Abu
Bakar yang menjabat sebagai seorang khalifah, bisa jadi cukup tahu terhadap
latar belakang kemunculan gejala sosiologis diatas, terbukti Abu Bakar tidak
menyerang mereka secara membabi buta, akan tetapi pada tahap awal didekati
secara persuasif, antara lain dengan mengirim surat terlebih dahulu, pada saat
penyerangan merupakan satu-satunya jalan terakhir barulah jalan tersebut
ditempuh. Sebab jalan damai sudah tidak efektif lagi. Kalau saja para nabi
palsu itu tidak mengajak yang lain untuk tidak membayar zakat, mungkin
kejadiannya akan lain. Tetapi karena mereka memprovokasi yang lain untuk tidak
membayar zakat, tentu ini menjadi merugikan negara, karena berkait dengan
eksistensi kenegaraan.
Dalam
rangka menghadapi nabi-nabi palsu beserta pengikutnya, demikian juga mereka
yang enggan membayar zakat dan mereka yang murtad, Abu Bakar mempersiapkan
sebelas pasukan yang antara lain dipimpin oleh Khalid bin Walid, Amru bin Ash,
Ikriman bin bi Jahl dll. Lewat pasukan-pasukan ini akhirnya semua gerakan
tersebut berhasil ditumpas. Tanpa mengecilkan arti lainnya, dapat disebutkan
bahwa Khalid bin Walid adalah penentu terbesar dalam kemenangan pasukan Islam
tersebut. Dalam sejarah Islam dia memang dikenal sebagai komandan perang yang
hebat.
Selain
Abu Bakar dituntut untuk menyelesaikan urusan dalam negeri, ia juga dituntut
untuk menyelesaikan yang lainnya. Masalah tersebut antara lain bahwa dia juga
harus mewaspadai ancaman yang mungkin datang dari dua negara adi kuasa, yaitu Bizantium
dan Persia.karenanya, disamping harus menyelesaikan masalah-masalah dalam
negeri tersebut, Abu Bakar juga harus memikirkan rencana untuk mempertahankan
wilayah Islam dari serbuan dan intervensi karena negara adi kuasa tersebut.
Kerajaan Bizantium, misalnya bisa saja menyerang balik Islam karena merasa
terancam dengan sering-seringnya wilayah perbatasan mereka diserang oleh
pasukan Islam. Disamping alasan ini, situasi internal umat Islam yang tidak
stabil pada waktu itu akan semakin memperbesar kemungkinan diserangnya wilayah
Islam oleh kedua adi kuasa tersebut. Di zaman Islam, kedua adi kuasa ini masih
cukup kokoh, terutama Bizantium. Dalam sejarah Islam Bizantium baru dikuasai
Islam pada abad ke-15 di zaman Turki Usmani. Sementara Persia sudah dijatuhkan
Islam jauh sebelum jatuhnya Bizantium.
Memperhatikan
pentingnya kewaspadaan dalam negeri umat Islam, maka Abu Bakar juga mengirimkan
pasukannya ke wilayah perbatasan dan kedua negara adi kuasa tersebut. Karena
itu tidak heran kalau kemudian Abu Bakar bersikeras untuk meneruskan rencana
Rasulullah untuk mengirimkan pasukan ke Suriah dibawah pimpinan Usamah bin
Zaim, kendatipun pada awalnya dengan pertimbangan situasi dalam negeri, ada
sahabat yang tidak menyetujui rencana Abu Bakar tersebut disamping ke wilayah
Suriah, Abu Bakar juga mengirimkan pasukan ke wilayah Irak dan Bizantium
sendiri. Pasukan Islam pada akhirnya juga memperoleh kemenangan dalam beberapa
pertempuran tersebut. Kemenangan-kemenangan itu, tidak bisa dilepaskan dari
peran besar panglima perangnya, yaitu Khalid bin Walid. Apa yang dilakukan oleh
Abu Bakar itu sangat penting bagi perkembangan Islam selanjutnya sekaligus
strategis dan membawa dampak yang positif. Selain itu juga langkah ini
merupakan strategi untuk mengalihkan perhatian umat Islam dari perselisihan
internal sebagai efek dari upaya mencari pemimpin yang dilakukan secara
demokratis.
2.
Beberapa Kebijakan Penting
Sebagai
seorang kepala negara, Abu Bakar telah melakukan beberapa kebijakan yang
dinilai cukup penting. Kebijakan-kebijakan tersebut secara umum dapat golongan
ke dalam dua bagian, yaitu bidang keagamaan dan bidang non keagamaan yang akan
dijelaskan pada bagian berikut.
a.
Keagamaan
Hampir di banyak buku sejarah Islam,
umumnya mengabadikan jasa Abu Bakar di bidang keagamaan ini. Yang paling umum
kebijakan Abu Bakar di bidang keagamaan ini adalah kebijakan mengumpulkan
Al-Qur’an, yang semula merupakan usulan Umar bin Khattab. Kebijakan lainnya
adalah melakukan upaya penyadaran terhadap mereka yang telah melakukan penyelewengan
terhadap ajaran Nabi Muhammad. Upaya penyadaran ini terutama dilakukan terhadap
kalangan yang mengingkari kewajiban zakat, murtad dan mengaku dirinya nabi.
b.
Non-Keagamaan
Selain kebijakan nyata dibidang
agama, Abu Bakar juga melakukan kebijakan non-agama. Diantara kebijakan itu
adalah kebijakan bidang ekonomi. Abu Bakar membuat semacam lembaga keuangan.
Tentu lembaga ini masih sederhana, tetapi untuk ukuran waktu itu adalah sebuah
kemajuan. Pengorganisasian dan pengoperasiannya masih bersifat sangat sederhana.
Muhammad Ali bahkan menyebut pembentukan lembaga tersebut sebagai salah satu
pencapaian yang paling penting dari Khalifah Abu Bakar, disamping kebijakan
yang lain.[2]
A. KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB (13-23 H/ 634-644 M)
Umar bin Khaththab nama lengkapnya adalah Umar
bin Khaththab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku Adi; yaitu
salah satu suku yang terpandang mulia. Umar
dilahirkan di Mekah, tepatnya empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah
seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara
ternak ayahnya dan berdagang hingga ke Syiria. Ia juga dipercaya oleh suku
bangsanya, Quraisy untuk berunding dan mewakilinya jika ada persoalan dengan
suku-suku yang lain.
Umar
masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat
terdekat Nabi SAW. serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh nabi mengenai
hal-hal yang penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang
berhak mengganti Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah
SAW. dengan memilih dan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga
ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai nasihatnya serta menjadi
tangan kanan khalifah yang baru itu. Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah
menunjuk Umar bin Khaththab menjadi penerusnya. Rupanya masa dua tahun bagi
Khalifah Abu Bakar belumlah cukup menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka
penunjukan ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan
di kalangan umat Islam. Ketika umar telah menjadi khalifah, ia berkata kepada
umatnya: “Orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini
akan bertalian dengan pengendara di mana jalan yang akan dilalui, dengan nama
Allah, begitulah aku akan menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus engkau
lalui.”
Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai
khalifah itu merupakan fenomena yang baru, tetapi haruslah dicatat bahwa proses
peralihan kepemimpinan tetap dala bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau
rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Untuk mengambila keputusan dari pendapat umum tersebut, Abu Bakar
melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa orang sahabat
, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan.[3]
Pada awalnya terdapat berbagai keberatan
mengenai rencana pengangkatan Umar, sahabat Thalhah misalnya, segera menemui
Abu Bakar untuk menyampaikan rasa kecewanya. Namun,
karena Umar adalah orang yang paling tepat untuk menduduki kursi kekhalifahan,
maka pengangkatan Umar mendapat persetujuan dan baiat dari semua anggota
masyarakat Islam.[4]
Umar
bin Khaththab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari
pengganti Rasulullah). Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin (komandan
orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung
pada masa pemerintahannya.
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah
dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar, dan era penaklukan militer telah dimulai
maka Khalifah Umar menganggap bahwa tugasnya yang pertama ialah mensukseskan
ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum
lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam
sejarah perluasan wilayah kekuasaan ini. Pada tahun 635 M., Damaskus yang
merupakan ibu kota Syiria ditundukkan, setahun kemudian seluruh wilayah Syiria
jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di
sebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal kuat itu
tunduk kepada pasukan-pasukan Islam.
Keberhasilan
pasukan Islam dalam penaklukan Suriah di masa Khalifah Umar tidak lepas dari
rentetan penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bakar telah mengirim
pasukan besar di bawah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Front Syiria. Ketika
pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid yang sedang
dikirim untuk memimpin pasukan ke Front Irak untuk membantu pasukan di Syiria.
Dengan gerakan secepat kilat Khalid menyeberangi guru pasir luas ke arah
Syiria. Ia bersama Abu Ubaidah bin Jarrah mendesak pasukan Romawi. Dalam
keadaan genting itu wafatlah Khalifah Abu Bakar, dan diganti dengan Umar bin
Khaththab. Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang
dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar diberhentikan oleh Umar dan
diganti oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan
hingga selesai perang, dengan maksud agar tidak merusak konsentrasi dalam
menghadapi musuh. Damaskus jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung
selama tujuh hari. Pasikan muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah melanjutkan
penaklukan ke Hamah, Qinnisrin, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama
pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan dan Yerussalaem, kota itu dikepung
oleh pasukan muslim selama empat bulan. Sehingga akhirnya dapat ditaklukkan
dengan syarat harus Khalifah Umar sendiri yang menerima “kunci” kota itu,
karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan muslim yang akan menghancurkan
gereja-gereja.
Dari
Syiria, pasukan kaum muslim melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat
kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika bagian utara. Bangsa Romawi telah
menguasai Mesir sejak tahun 30 sebelum Masehi, dan menjadikan wilayah subur itu
sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik
sehingga menimbulkan kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh Raja
Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash meminta izin khalifah Umar untuk menyerang wilayah
itu, tetapi khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di
beberapa front pertempuran. Akhirnya permintaan dikabulkan juga oleh khalifah
dengan mengirim 4.000 tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi tersebut. Tahun
18 H pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan.
Kemudian menundukkan (Pelusium Al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang
merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan
muslimin dan dapat ditaklukkan pada tahun 19 H. Satu demi satu kota-kota di
Mesir ditaklukkan oleh pasukan muslimin. Kota Babilon juga dapat ditundukkan
pada tahun 20 H setelah 7 bulan terkepung. Cyrus, pimpinan Romawi di Mesir
mengajak damai dengan pasukan Islam pimpinan ‘Amr setelah melihat kebesaran dan
kesungguhan pasukan muslimin untuk menguasai Mesir.
Iskandariah, ibu kota Mesir dikepung selama
empat bulan sebelum ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Ubadah bin
Samit yang dikirim oleh khalifah di front peperangan Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin.[5]
Perjanjian tersebut berisi beberapa hal sebagai berikut:
1. Setiap warga negara diminta untuk membayar pajak perorangan
sebanyak 2 dinar setiap tahun.
2.
Gencatan
senjata akan berlangsung selama 7 bulan.
3.
Bangsa
Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak
akan menyerang Iskandariah dan harus menjauhkan diri dari permusuhan.
4.
Umat
Islam tidak akan menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan
umat Kristen.
5.
Pasukan
tetap Yunani harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda dan
uang, mereka akan membayar pajak perseorangan selama satu bulan.
6.
Umat
Yunani harus tetap tinggal di Iskandariah.
7.
Umat
Islam harus menjaga 150 tentara Yunani dan 50 orang sipil sebagai sandera
sampai batas waktu dari perjanjian ini dilaksanakan.
Dengan jatuhnya Iskandariah maka sempurnalah penaklukan atas Mesir.
Ibu kota negeri itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang dibangun
oleh ‘Amr bin Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di pinggiran
kota Kairo hingga kini sebagai saksi sejarah yang tidak dapat dihilangkan.
Dengan Syiria sebagai basis, gerak maju pasukan ke Armenia, Mesopotamia Utara,
Georgia dan Azerbaijan menjadi terbuka. Demikian juga serangan-serangan kilat
terhadap Asia Kecil dilakukan selama bertahun-tahun setelah itu. Seperti halnya
Yarmuk yang menentukan nasib Syiria, perang Qadisiah pada tahun 637 M. menentukan
masa depan Persia. Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah Sa’ad bin Abi Waqqas
untuk menundukkan kota itu. Kemenangan yang diraih di wilayah itu membuka jalan
bagi gerak maju tentara muslim ke dataran Eufrat dan Tigris. Ibu kota Persia,
Ctesiphon (Madain) yang letaknya di tepi sungai Tigris pada tahun itu juga
dapat dikuasai. Setelah dikepung selama dua bulan, Yazdagrid III,raja Persia
itu melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung Nahawan dan menundukkan
Ahwaz pada tahun 22 H. Tahun 641 M/22 H seluruh wilayah Persia sempurna
dikuasai. Isfahan juga ditaklukkan, demikian pula Jurjan/Georgia dan Tabristan.
Azerbaijan tidak luput dari kepungan pasukan muslim. Orang-orang Persia yang
jumlahnya jauh lebih besar daripada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1 dapat
dikalahkan sehingga menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Kaum muslimin
menyebut sukses ini dengan “Kemenangan dari segala kemenangan” (Fathul Futuh).
Perebutan atas kekuasaan yang strategis tersebut berlangsung dengan
cepat dan memberi prestise di mata dunia. Suatu tenaga yang tidak diperkirakan
seakan-akan digerakkan oleh kekuatan gaib telah meluluhlantakkan Kerajaan
Persia dan Romawi. Operasi-operasi militer yang dilakukan oleh Khalid bin
Walid, ‘Amr bin Ash dan lain-lain di Irak, Syiria, dan Mesir termasuk yang
paling gemilang dalam sejarah ilmu siasat perang dan tidak kalah jika
dibandingkan dengan Napoleon, Hanibal atau Iskandar Zulkarnain.[6]
Pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat
pesat, bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas. Khalifah Umar telah
berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani
tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. Umar mendirikan beberapa dewan,
membangun baitul mal, mencetak mata uang, membentuk kesatuan tentara untuk
melindungi daerah tapal batas, mengatur gaji, mengangkat para hakim dan
menyelenggarakan “hisbah”.
Khalifah Umar juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam
pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna.
Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekhalifahan
bagi Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tiada istana atau pakaian
kebesaran, baik untuk Umar sendiri maupun untuk bawahannya sehingga tidak ada
perbedaan antara penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapat dihubungi
oleh rakyat. Kehidupan khalifah memang
merupakan penjelmaan yang hidup dari prinsip-prinsip egaliter dan
demokratis yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara.
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan
peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap
kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainya kemaslahatan
umat Islam. Misalnya mengenai kepemilikan tanah-tanah yang diperoleh dari suatu
peperangan (ghanimah). Khalifah umar membiarkan tanah digarap oleh pemiliknya
sendiri di negeri yang telah ditaklukkan dan melarang kaum muslimin memilikinya
karena mereka menerima tunjangan dari baitul mal atau gaji bagi prajurit yang
masih aktif. Sebagai gantinya, atas tanah itu dikenakan pajak (Al-Kharaj).
Begitu pula Umar meninjau kembali bagian-bagian zakat yang
diperuntukkan kepada ‘orang yang dijinakkan hatinya’ (Al-Muallafat Qulubuhum)
mengenai syarat-syarat pembiarannya. Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun
lebih 6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia
bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman
pisau tajam ke arah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh yang telah
ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi di pagi buta itu. Khalifah terluka
parah, dari pembaringannya ia mengangkat “Syura” (komisi pemilih) yang akan
memilih penerus tongkat kekhalifahannya. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah
peristiwa penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharram 23 H/644 M.[7]
B. KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN (23-36
H/644-656 M)
Khalifah
ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil
Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar,
dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad. Ia sangat kaya tetapi
berlaku sederhana, dan sebagian besar hartanya digunakan untuk kepentingan
agama Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua
cahaya, karena menikahi dua putri Rasulullah secara berurutan setelah yang satu
meninggal.
Ustman
juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraiys terhadap
muslimin di Makkah, dan ikut hijrah ke Abesinia beserta istrinya. Utsman
menyumbang 950 ekor unta dan 50 bagal serta 1.000 dirham dalam ekspedisi untuk
melawan Bezantium di perbatasan Palestina. Ia juga membeli mata air orang-orang
Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk diwakafkan bagi
kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan hadist kurang lebih 150 hadist.
Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan.
Bedanya Umar ditunjuk secara langsung sedangkan Utsman diangkat atas peninjukan
tidak langsung, yaitu memlalui badan Syura yang dibentuk Umar sebelum wafatnya.
Khalifah
Umar membentuk komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah
menunjuk salah satu untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka adalah Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi
Waqqash, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi dia hanya
mempunyai hak pilih dan tidak berhak dipilih.[8]
Masa pemerintahan Utsman adalah masa
terpanjang dari semua khalifahdi zaman Khulafah Rasyidah, yaitu 12 tahun,
tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa pemerintahannya baik dan sukses. Para penulis sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua
periode, enam tahun pertama adalah masa kejayaannya dan enam tahun terakhir
merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Pada
tahun awal pemerintahannya Utsman mampu
menaklukkan daerah Tripoli, Ciprus dan daerah lainnya.[9]
Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus
dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaiaan ekspedisi militer
yang terencana secara cermat dan simultan disemua front. Di mesir pasukan
muslim diintruksikan untuk memasuki Afrika Utara.
Salah
satu pertempuran penting di sini adalah “Zatis Sawari” (Peperangan Tiang Kapal)
yang terjadi di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi yang
dipimpin oleh Kaisar Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Abi
Sarah. Dinamakan peperangan tiang kapal karena dalam peperangan ini banyak
menggunakan kapal yaitu sebanyak 1.000 kapal, dari pihak muslim sendiri
sebanyak 200 kapal sedangkan sisanya adalah kapal pasukan Romawi. Pasukan
muslim menang, dan bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah
kerajaan Sasan di Irak, dan dari Kuffah menyerang beberapa provinsi di sekitar
Laut Kaspia.[10]
Karya
monumental lain yang dipersembahkan Utsman kepada umat Islam adalah penyusunan
kitab suci Al-Qur’an. Maksud penyusunan Alqur’an yaitu untuk mengakhiri
perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan Alqur’an. Ketua dewan penyusunan
Alqur’an adalah Zaid bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkannya antara lain
adalah Hafsah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Kemudian dewan tersebut
membuat salinannya untuk dikirim ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai
pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.
Setelah melewati saat-saat gemilang, pada
paruh terakhir masa pemerintahannya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai
pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri oleh orang-orang yang kecewa
atas beberapa kebijakan khalifah dan tabiatnya. Sebenarnya dari awal masa
pemerintahannya kekacauan itu sudah dimulai.
Utsman dipilih karena sebagai calon yang
konservatif, ia adalah orang yang saleh dan baik. Namun kurang menguntungkan karena Utsman terlalu terikat oleh
kepentingan orang Makkah, khususnya kaum Quraiys dari Bani Umayyah. Oleh karena
itu Utsman berada dalam pengaruh dominasi sanak saudaranya yaitu Bani Umayyah.
Kelemahan dan nepotisme membawa kebencian rakyat kepada Utsman yang menjadi
pertikaian mengerikan di kalangan umat Islam.
Ketika
Utsman mengangkat sepupunya Marwan bin Hakam, ia dituduh mementingkan diri
sendiri dan keluarganya untuk menjadi sekretaris utamanya. Begitu pula ketika
menempatkan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur
di Suria, Irak, dan Mesir, segera timbul kebencian dan rasa tidak percaya dari
rakyat. Ditambah lagi mendapat tuduhan bahwa kerabat-kerabat khalifah mendapat
harta pribadi dengan mengorbankan kekayaan umum dan tanah negara. Hakam ayah
Marwan mendapat tanah Fadah, Marwan menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah
mengambil alih tanah negara Suria dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk
mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli.[11]
Situasi
politik saat itu benar-benar mencekam. Sampai-sampai maksud baik membukukan
Alqur’an yang telah terlaksana pun disalahpahami oleh rakyat. Banyak pihak yang
mengecam dan menuduh bahwa Utsman tidak berhak menerapkan edisi Alqur’an yang
dibakukan itu, dengan dakwaan bahwa Utsman menyalahgunakan kekuasaan keagamaan
yang dimiliki.
Utsman
telah berupaya membela diri dan melakukan tindakan politis sebatas
kemampuannya. Tuduhan pemborosan uang negara, Utsman menepis dengan keras
tuduhan keji ini. Benar bahwa ia banyak membantu saudara-saudaranya dari bani
Umayyah, tapi itu semua dari kekayaan pribadinya. Bukan dari kas negara, bahkan
Khalifah Utsman tidak mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjabat
sebagai khalifah ia jatuh miskin karena selain untuk membantu sanak saudaranya,
juga seluruh waktu Utsman untuk umat muslim, sehingga tidak ada waktu untuk
mengumpulkan harta lagi.
Di Kuffah dan Basrah, yang dikuasai oleh
Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menolak gubernur yang diangkat oleh
khalifah. Hasutan paling keras terjadi di
Mesir, rakyat menolak Abdullah sebagai pengganti ‘Amr bin Ash, dan juga masalah
pembagian ghanimah. Pemberontak berhasil mengusir Abdullah dan
berarak-arakan menuju Madinah menuntut khalifah. Pemberontak dari Kuffah dan Basrah
juga ikut bergabung, dan khalifah mengabulkan permintaan mereka, dan menjadikan
Muhammad bin Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir.
Mereka
puas dan kembali ke negerinya masing-masing, tapi dalam perjalanan mereka
menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus bahwa para wakil itu harus
dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh Marwan
bin Hakam, sekretaris pribadi khalifah, sehingga mereka meminta Marwan
diserahkan, namun Utsman menolak dan Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikannya
secara damai, tetapi ppara pemberontak menolak. Mereka mengepung rumah Utsman
dan membunuhnya ketika khalifah sedang membaca Alqur’an, pada tahun 35 H/17
Juni 656 M. Akan tetapi menurut Lewis, pusat oposisi sendiri adalah dari
Madinah, Zubair, Thalhah, dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia melawan khalifah,
dengan memanfaatkan pemberontak yang datang ke Madinah untuk melampiaskan
dendamnya yang meluap-luap.[12]
C. KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB (36-41
H/ 656-661 M)
1. Proses Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang
khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas
meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam
Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya
bersedia dibai’at menjadi khalifah.setelah Utsman terbunuh,kaum pemberontak
mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti
Ali bin AbiThalib, Thalhah Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar
bin Khatthab agar bersedia menjadikhalifah, manun mereka menolak. Akan tetapi,
baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lenih menginginkan Ali
menjadi khalifah. Ia didatangi beberpa kali oleh kelompok-kelompok tersebut
agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab,ia
meghendaki agar urusan itu diselesaikan secara musyawarah dan mendapat
persetujuan dari para sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah
massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar
tidak terjadi kekacauan yng lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi
khalifah.
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta
para sahabat seperti, Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa sahabat yang
senior seperti Abdullah bin Umar bin Khatthab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin
AbiWaqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di
Madinah tidak mau ikut membai’at Ali.Ibn Umar bin Saad misalnya bersedia dibai’at
kalau seluruh rakyat sudah berbai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan,
mereka berbai’at secara terpaksa. Riwayat lain mengatakan mereka bersedia
membai’at jika mereka nanti diangkat menjadi Gubernur di Khufah dan Basrah.
Akan tetapi riwayat lain menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair bersama kaum
Anshar dan Muhajirin yang meminta kepada Ali agar sedia dibai’at
menjadikhalifah. Mereka menyatakan bahwa tidak ada pilihan lain, kecuali
memilih Ali.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum Muslimin secara aklamasi
karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka
terssebar diwilah-wilayah taklukan baru dan wilayah Islam sudah meluas ke luar
kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada ditanah Hijaz (Mekah, Madinah
dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah Arab. Salah seorang tokoh yang
menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap knfrontatif adalah Muawiyah
bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam.alasan yang dikemukakan
karena Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman..[13]
2. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthallib. Ia adalah sepupu Nabi
Muhammad SAW.yang kemudian menjadi menantunya karena menikahi puteri Nabi
Muhammad SAW,yaitu Fatimah. Ia telah ikut bersama Rasulullah SAW sejak bahaya
kelaparan mengancam kota Mekah. Ia masuk Islam ketika usianya sangat muda dan
termasuk orang pertama masuk Islam dari golongan pria. Pada saat Nabi menerima
wahyu pertama, Ali berumur 13 tahun, menurut A.M Saban, sedangkan menurut
Mahmudunnasir, Ali berumur 9 tahun.
Mahmudunnasir selanjutnya menulis bahwa Ali termasuk salah seorang yang
baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal sebagai seorang orator.
Ia juga seorang pandai dan bijaksana, sehingga ia menjadi penasihat pada zaman
khalifah Abu Bakar,Umar dan Utsman. Ia mengikuti hampir semua peperangan pada
zaman Nabi Muhammad SAW. Ia tidak sempat membai’at Abu Bakar karena sibuk
mengurus jenazah Rasulullah SAW. Dan keturunan Nabi Muhammad SAW berkelanjutan
dari beliau.
Menurut Ali Mufrodi, setelah wafatnya Utsman bin Affan, banyak sahabat yang
sedang mengunjungi wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, yang diantaranya
adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Peristiwa terbunuhnya
Utsman bin Affan menyebabkan perpecahan dikalangan umat Islam menjadi empat
golongan yakni: (1) pengikut Utsman, yaitu yang menuntut balas atas kematian
Utsman bin Affan dan mengajukan Muawiyyah menjadi khalifah; (2) pengikut Ali,
yang mengajukan Ali sebagai khalifah; (3) kaum moderat, tidak mengajukan calon,
menyerahkan urusannya kepada Allah;(4) golongan yang brpegang pada prinsip
jama’ah diantaranya, Salan bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamahbin
Zaid, dan Muhammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan
tabi’in yang memandang bahwa Utsman dan Ali sama-sama sebagai pemimpin.[14]
Persoalan pertama adalah Ali menyingkirkan dua saingan utama kekhalifahan,
yaitu Thalhah dan Zubair yang mewakili kelompok Mekkah. Keduanya memiliki
pengikut kelompok Hijaz dan Iraq yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali. Umm
al-Mukminin Aisyah yang tidak mencegah tapi justru membantu para
pemberontak atau pembunuh Utsman dan kini bergabung dengan mereka menentang Ali
di Bashrah. Sebab barangkali Ali yang telah melukai kehormatannya, karena suatu
ketika,saat Aisyah tertingal sendirian dibelakang barisan rombongan Nabi
Muhammad SAW,Ali mencurigainya telah berbuat mesum, maka turun ayat Q.S Annur:
11-20 yang memihk Aisyah. Diluar Bashrah pada 9 Desember 656 Ali berperang mengalahkan
pasukan gabungan dalam pertempuran yang dikenal dengan perang Jamal/Unta karena
Aisyah pada waktu itu menunggangi seekor unta. Thalhah dan Zubair gugur
terbunuh pada malam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, sementara
Aisyah kalah dlam peperangan dan tertangkap. Ali dengan penuh hormat
memulangkan Aisyah ke Madinah.[15]
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan
timbulnya perlawanan dari Gubernur Damaskus, Mu’awiyah yang didukung oleh
sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Setelah berhasil meredamkan pemberontaan Thalhah dan Zubair dan Aisyah, Ali
bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran yang terjadi disini
dikenal dengan perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (
arbritase), tapi tahkim ternyata tidak meneyelesaikan masalah, bahkan
menyebabkan munculnya golongan ketigaal-Khawarij, orang-orang yang keluar dari
barisan Ali. Akibatnya diujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam
terpcah menjaditiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah, dan Al-Khawarij.
Keadaan ini tidak megnuntungkan Ali. Munculnya kelompokal-Khawarij menyebabkan
tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal
20 ramadhan40 H (660 M), Ali terbunuh oleh satu seorang anggota Khawarij.
Kedududkan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama
beberpa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin
kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan
umatIslam kembali dalam satu kepemimpinan politik,dibawah Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan. Di sisi lain,perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa
absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah
sebagai tahun Jama’ah.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Khulafaur Rasyidin
Adalah para pemimpin pengganti Rosulullah
dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil, bijaksana, cerdik, selalu
melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat petunjuk dari Allah. Tugas Khulafaur
Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan
kaum muslimin.
2.
Peradaban Islam masa Khulafaaur Rasyidin
a.
Masa Abu Bakar As-Shiddiq (11-13 H/ 632-634
M)
Sulitnya mencari pengganti Rasulullah
untuk memimpin masyarakat Madinah yang sudah mulai tertata dan berperadaban.
Sampai akhirnya keputusan jatuhke tangan Abu Bakar As-Shiddiq dan mayoritas
umat Islam berbai’at kepadanya.
b.
Masa Umar bin Khattab (13-23 H/ 634-644 M)
Terpilihnya Umar bin Khattab sebagai
Khalifah, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar. Ia mendapatkan mandat kepercayaan
sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah
yang terbuka, tetapi melalui penunjukkan atau wasiat oleh pendahulunya. Abu
Bakar sebelum meninggal pada tahun 634M/13H telah menunjuk Umar sebagai
penggantinya.
c.
Masa Utsman bin Affan (23-36
H/644-656 M)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa setelah Umar bin Khattab
meninggal, Utsman bin Affan yang menggantikan kedudukan Umar sebagai khalifah
umat Islam berdasarkan musyawarah sejumlah sahabat senior.
d. Masa Ali bin Abi Thalib (36-41 H/ 656-661 M)
Sepeninggal Utsman bin Affan, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib. Ali memerintah selama 4 tahun.
Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Hampir tidak
ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil.
B.
Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami sajikan pada pembaca. Kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dalam tulisan yang kami tulis. Kami menghaarap kritik
dan saran dari pembaca agar dalam penulisan makalah selanjutnya dapat lebih
baik lagi. Semoga dari apa yang telah kami tulis dalam makalah ini dapat
diambil manfaatnya sebagai ilmu tambahan bagi pengetahuan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Syamsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Amzah
Fuadi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
PUSTAKA BOOK PUBLISHER
Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja
Gravindo Persada
http://abdimanfaat.blogspot.com/2014/02/peradaban-islam-pada-masa-khulafaur.html
[1] http://abdimanfaat.blogspot.com/2014/02/peradaban-islam-pada-masa-khulafaur.html
[3] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.98-99
[4]
Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.99-100
[5]
Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.100-101
[6]
Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.101-102
[7]
Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.102-104
[8]
Syamsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 104
[9]
Syamsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 22
[10]
Syamsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 105
[11]
Syamsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 107
[12]
Syamsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 108
[15] M.Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam.(Yogyakarta:
PUSTAKA BOOK PUBLISHER 2007).hlm.106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar