Minggu, 14 Juni 2015

Wachid shalahuddin Al Ayubi


3 CM


Sejarah Peradaban Masa Khulafaur Rasyidin

BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Ketika islam diperkenalkan sebagai pola dasar, kaum Muslimah telah dijanjikan oleh Al – Quran akan menjadi komunitas terbaik dipanggung sejarah bagi sesama umat manusia lainnya. Akibatnya diterimanya dorongan ajaran seperti ini , secara tidak langsung telah memberikan produk pandangan bagi mereka sendiri untuk melakukan permainan budaya sebaik mungkin.
Terdapat banyak perspektif dalam membaca banyak fakta sejarah , terutama terhadap sejarah peradaban umat Islam. Perbedaan cara pandang tersebut sebagai akibat dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang berbeda. Hal itu dipicu dari keberagaman teori sejarah. Lebih–lebih sejarah islam yang sebagian besar adalah sejarah tentang polotik dan kekuasaan yang berujung pada kepentingan kelompok maupun individual semata.
Banyak terjadi kerancuan-kerancuan ketika pemerintahan sudah tidak berada dibawah kendali Rasulullah. Dalam hal ini terdapat empat khalifah yg menggantikan Nabi dalam memimpin Umat Islam dengan selalu berpegang pada al Qur’an dan Sunnah. pada periode ini, masih mencerminkan pola- pola yang digagas dan dipraktekkan oleh Rasululah dalam menata dan mengurusi umat Islam, terutama pada periode Abu Bakar  yang sepenuhnya hampir tidak melakukan perubahan-perubahan kebijakan.
         Adapun format peradaban tampaknya lebih bnyak dilakukan oleh dua khalifah berikutnya yaitu Umar bin Khathab dan Ustman bin Affan. Hal ini dikarenakan mereka memerintah lebih lama dibandingkan dengan Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, sehingga fakta sejarah menunjukkan bahwa zaman al Khulafa’ur Rasyidin tersebut termasuk kedalam zamann perkembangan Islam yang cemerlang yang ditandai dengan ekspansi, integrasi, pertumbuhan, dan kemajuan yang menunjukkan perdaban tersendiri dengan segala karakteristiknya.




           B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Khulafaur Rasyidin?
2.      Bagaimana Problematika dan realitas kepemimpinan Khalifah Abu Bakar?
3.      Bagaimana kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab?
4.      Bagaimana kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan?
5.      Bagaimana kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib?
            C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui arti Khulafaur Rasyidin
2.      Mengetahui Problematika dan realitas kepemimpinan Khalifah Abu Bakar
3.      Mengetahui kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab
4.      Mengetahui kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
5.      Mengetahui kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khulafaur Rasyidin
Menurut bahasa, Khalifah (خليفة Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa , yang berarti : menggantikan atau menempati tempatnya. Menurut istilah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa sebuah edentitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad saw selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah para pemimpin pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil, bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat petunjuk dari Alloh. Tugas Khulafaur Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika tugas Rosulullah terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin bertugas menggantikan kepemimpinan Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala Negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama.  Adapun tugas kerosulan tidak dapat digantikan oleh Khulafaur Rasyidin  karena Rasulullah adalah Nabi dan Rosul yang terakhir.  Setelah Beliau tidak ada lagi Nabi dan Rosul lagi.
Tugas Khulafaur Rasyidin sebagai kepala Negara adalah mengatur kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur, aman, dan sentosa. Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur   Rasyidin bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka kholifah yang berhak mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga setiap kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin.
          Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin umat Islam dari kalangan sahabat pasca Nabi wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang terpilih, maka sahabat yang lain memberikan baiat (sumpah setia)  pada calon yang terpilih tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan khalifah ini , yaitu : pertama, secara musyawarah oleh para sahabat Nabi. Kedua, berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya. Sahabat Rosulullah yang termasuk Khulafaur Rasyidin adalah:
a)      Abu Bakar As Shiddiq (11 – 13 H / 632 – 634 M)
b)      Umar Bin Khattab (13 – 23 H / 634 – 644 M)
c)      Utsman Bin Affan (24 – 36 H / 644 – 656 M)
d)     Ali Bin Abi Thalib(36 – 41 H / 656 – 651 M)[1]

A.    KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ (11-13 H/ 632-634 M)
1.      Abu Bakar Khalifah Umat Islam
Sebelum Rasulullah meninggal dunia, konon Rasulullah tidak berwasiat siapa yang akan menjadi penggantinya. Hal ini kemudian terjadi kesibukan tersendiri bagi umat islam untuk mencari pengganti yang tepat setelah Rasulullah, ini terutama menimpa kalangan Muhajirin dan Anshar. Sehimgga, sebelum terpilihnya tokoh Abu Bakar sebagai khalifah, sempat terjadi kontroversi dikalangan umat yang diwakili oleh masing-masing wakil kelompok dalam menentukan siapa yang pantas memimpin mereka.
Harus diakui bahwa menentukan pilihan pemimpin ini memiliki arti penting dan trategis bagi kelangsungan komunitas umat Islam sepeninggalan Rasulullah. Hal ini selanjutnya berarti akan terlalu merugikan bagi umat Islam jika pemilihan tersebut gagal menentukan figur terbaik yang bisa diterima oleh semua kalangan Islam.
            Realitasnya adalah bahwa waktu itu terdapat dua kelompok besar yang saling bersaing lewat pemilihan tersebut. Yakni kelompok Anshor dan Muhajirin. Karenanya wajar kalau kemudian sempat terjadi ketegangan  dalam proses pemilihan khalifah yang berlangsung di Saqifah Bani Saidah ini. Keterangan lain juga menyebutkan bahwa kelompok Bani Hasyim pun punya kepentingan dalam pemilihan tersebut. Ada juga aspirasi suku-suku Nomad yang tidak mau tunduk pada wilayah Madinah apabila pemimpin mereka bukan dari suku Quraisy.
Sebenarnya sejak awal, baik kelompok Muhajirin maupun kelompok Amshar menginginkan jabatan khalifah ini, mereka mengajukan argument yang dapat memperkuat posisi tuntutan mereka tersebut. Golongan Anshor dan suku Khazraj, misalnya mengajukan Sa’d bin Ubadah, tokoh ini tercatat sebagai orang yang tidak pernah menyatakan bai’ahnya kepada Abu Bakar dan Umar sampai akhir hayatnya sebagai calon khalifah. Abu Bakar (kelompok Muhajirin) pada awalnya mengajukan Umar bin Khatab dan Sa’d ibn Ubadah sebagai calon khalifah. Akhirnya lewat proses perdebatan yang panjang terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Disamping karena kemampuan dan senioritasnya agaknya kepentingan bersama dan stabilitas politiklah yang turut melatarbelakangi terpilihnya tokoh Abu Bakar sebagai khalifah. Diantara faktor yang mendukung terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dia orang yang menggantikan Rasul sebagai imam shalat ketika Rasulullah sakit, dia juga orang yang menemani Rasulullah saat hijrah dan dia adalah sahabat senior yang awal memeluk Islam.
Maka sejak saat itu Abu Bakar sebagai khalifah umat Islam. Ia disebut sebagai khalifat al-rasulillah, yang berarti pengganti Rasulullah. Yang membedakannya dengan Rasul adalah kalau Rasulullah itu memiliki otoritas sebagai pemimpin agama dan negara, tetapi Abu Bakar hanya memiliki otoritas kenegaraan saja, karena memang Abu Bakar bukan sebagai nabi. Dengan otoritasnya sebagai pemimpin negara maka dia memiliki kekuasaan untuk memimpin masyarakat Madinah sebagaimana yang dilakukan dan dimiliki oleh para pemimpin yang lain.
Pada saat Abu Bakar sebagai kepala negara, ia mendapatkan beberapa tugas berat yang perlu penyelesaian. Diantara permasalahan yang muncul selama dia menjabat sebagai khalifah antara lain adalah munculnya nabi-nabi palsu, orang-orang yang tidak mau membayar zakat, juga orang-orang yang murtad (keluar dari Islam). Dalam hal ini Abu Bakar berusaha untuk menyelesaikannya secara persuasif, walaupun pada kondisi tertentu Abu Bakar terpaksa harus bertindak secara tegas. Abu Bakar tidak mau membiarkan ketiga masalah tersebut berlarut-larut karena hal itu merugikan umat Islam sendiri. Selama pemerintahannya ia tercatat sukses menyelesaikan ketiga masalah tersebut.
Sebenarnya ketiga kasus dalam negeri yang dihadapi oleh Abu Bakar ini tidaklah berdiri sendiri. Walaupun untuk mengatakan bahwa ketiganya saling terkait secara utuh adalah juga tindakan yang terlalu terburu-buru. Munculnya sebagian dari orang-orang murtad yang enggan membayar zakat, misalnya merupakan hasil propaganda dari mereka yang mengaku dirinya nabi yang berhasil mengumplkan massa dalam jumlah besar untuk menentang Madinah. Diantara mereka yang mengaku dirinya nabi tersebut adalah Musailamah dan Al-Aswan Ansi, yang akhirnya keduanya mati terbunuh pada waktu gerakan penumpasan, juga Rulaihah yang masuk Islam pada masa Umar dan Sajan, seorang wanita Nasrani. Mereka diserang Abu Bakar karena mereka merugikan umat islam dengan propaganya yang tidak mau membayar zakat, sedangkan zakat sangat penting dalam kehidupan negara.
Abu Bakar yang menjabat sebagai seorang khalifah, bisa jadi cukup tahu terhadap latar belakang kemunculan gejala sosiologis diatas, terbukti Abu Bakar tidak menyerang mereka secara membabi buta, akan tetapi pada tahap awal didekati secara persuasif, antara lain dengan mengirim surat terlebih dahulu, pada saat penyerangan merupakan satu-satunya jalan terakhir barulah jalan tersebut ditempuh. Sebab jalan damai sudah tidak efektif lagi. Kalau saja para nabi palsu itu tidak mengajak yang lain untuk tidak membayar zakat, mungkin kejadiannya akan lain. Tetapi karena mereka memprovokasi yang lain untuk tidak membayar zakat, tentu ini menjadi merugikan negara, karena berkait dengan eksistensi kenegaraan.
Dalam rangka menghadapi nabi-nabi palsu beserta pengikutnya, demikian juga mereka yang enggan membayar zakat dan mereka yang murtad, Abu Bakar mempersiapkan sebelas pasukan yang antara lain dipimpin oleh Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Ikriman bin bi Jahl dll. Lewat pasukan-pasukan ini akhirnya semua gerakan tersebut berhasil ditumpas. Tanpa mengecilkan arti lainnya, dapat disebutkan bahwa Khalid bin Walid adalah penentu terbesar dalam kemenangan pasukan Islam tersebut. Dalam sejarah Islam dia memang dikenal sebagai komandan perang yang hebat.
Selain Abu Bakar dituntut untuk menyelesaikan urusan dalam negeri, ia juga dituntut untuk menyelesaikan yang lainnya. Masalah tersebut antara lain bahwa dia juga harus mewaspadai ancaman yang mungkin datang dari dua negara adi kuasa, yaitu Bizantium dan Persia.karenanya, disamping harus menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri tersebut, Abu Bakar juga harus memikirkan rencana untuk mempertahankan wilayah Islam dari serbuan dan intervensi karena negara adi kuasa tersebut. Kerajaan Bizantium, misalnya bisa saja menyerang balik Islam karena merasa terancam dengan sering-seringnya wilayah perbatasan mereka diserang oleh pasukan Islam. Disamping alasan ini, situasi internal umat Islam yang tidak stabil pada waktu itu akan semakin memperbesar kemungkinan diserangnya wilayah Islam oleh kedua adi kuasa tersebut. Di zaman Islam, kedua adi kuasa ini masih cukup kokoh, terutama Bizantium. Dalam sejarah Islam Bizantium baru dikuasai Islam pada abad ke-15 di zaman Turki Usmani. Sementara Persia sudah dijatuhkan Islam jauh sebelum jatuhnya Bizantium.
Memperhatikan pentingnya kewaspadaan dalam negeri umat Islam, maka Abu Bakar juga mengirimkan pasukannya ke wilayah perbatasan dan kedua negara adi kuasa tersebut. Karena itu tidak heran kalau kemudian Abu Bakar bersikeras untuk meneruskan rencana Rasulullah untuk mengirimkan pasukan ke Suriah dibawah pimpinan Usamah bin Zaim, kendatipun pada awalnya dengan pertimbangan situasi dalam negeri, ada sahabat yang tidak menyetujui rencana Abu Bakar tersebut disamping ke wilayah Suriah, Abu Bakar juga mengirimkan pasukan ke wilayah Irak dan Bizantium sendiri. Pasukan Islam pada akhirnya juga memperoleh kemenangan dalam beberapa pertempuran tersebut. Kemenangan-kemenangan itu, tidak bisa dilepaskan dari peran besar panglima perangnya, yaitu Khalid bin Walid. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar itu sangat penting bagi perkembangan Islam selanjutnya sekaligus strategis dan membawa dampak yang positif. Selain itu juga langkah ini merupakan strategi untuk mengalihkan perhatian umat Islam dari perselisihan internal sebagai efek dari upaya mencari pemimpin yang dilakukan secara demokratis.

2.      Beberapa Kebijakan Penting
Sebagai seorang kepala negara, Abu Bakar telah melakukan beberapa kebijakan yang dinilai cukup penting. Kebijakan-kebijakan tersebut secara umum dapat golongan ke dalam dua bagian, yaitu bidang keagamaan dan bidang non keagamaan yang akan dijelaskan pada bagian berikut.
a.       Keagamaan
Hampir di banyak buku sejarah Islam, umumnya mengabadikan jasa Abu Bakar di bidang keagamaan ini. Yang paling umum kebijakan Abu Bakar di bidang keagamaan ini adalah kebijakan mengumpulkan Al-Qur’an, yang semula merupakan usulan Umar bin Khattab. Kebijakan lainnya adalah melakukan upaya penyadaran terhadap mereka yang telah melakukan penyelewengan terhadap ajaran Nabi Muhammad. Upaya penyadaran ini terutama dilakukan terhadap kalangan yang mengingkari kewajiban zakat, murtad dan mengaku dirinya nabi.
b.      Non-Keagamaan
Selain kebijakan nyata dibidang agama, Abu Bakar juga melakukan kebijakan non-agama. Diantara kebijakan itu adalah kebijakan bidang ekonomi. Abu Bakar membuat semacam lembaga keuangan. Tentu lembaga ini masih sederhana, tetapi untuk ukuran waktu itu adalah sebuah kemajuan. Pengorganisasian dan pengoperasiannya masih bersifat sangat sederhana. Muhammad Ali bahkan menyebut pembentukan lembaga tersebut sebagai salah satu pencapaian yang paling penting dari Khalifah Abu Bakar, disamping kebijakan yang lain.[2]


A.    KHALIFAH UMAR BIN KHATHTHAB (13-23 H/ 634-644 M)
Umar bin Khaththab nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku Adi; yaitu salah satu suku yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekah, tepatnya empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani. Ia ikut memelihara ternak ayahnya dan berdagang hingga ke Syiria. Ia juga dipercaya oleh suku bangsanya, Quraisy untuk berunding dan mewakilinya jika ada persoalan dengan suku-suku yang lain.
Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi salah satu sahabat terdekat Nabi SAW. serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh nabi mengenai hal-hal yang penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak mengganti Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah SAW. dengan memilih dan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai nasihatnya serta menjadi tangan kanan khalifah yang baru itu. Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khaththab menjadi penerusnya. Rupanya masa dua tahun bagi Khalifah Abu Bakar belumlah cukup menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukan ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam. Ketika umar telah menjadi khalifah, ia berkata kepada umatnya: “Orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara di mana jalan yang akan dilalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui.”
Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai khalifah itu merupakan fenomena yang baru, tetapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tetap dala bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Untuk mengambila keputusan dari pendapat umum tersebut, Abu Bakar melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa orang sahabat , antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan.[3]
Pada awalnya terdapat berbagai keberatan mengenai rencana pengangkatan Umar, sahabat Thalhah misalnya, segera menemui Abu Bakar untuk menyampaikan rasa kecewanya. Namun, karena Umar adalah orang yang paling tepat untuk menduduki kursi kekhalifahan, maka pengangkatan Umar mendapat persetujuan dan baiat dari semua anggota masyarakat Islam.[4]
Umar bin Khaththab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya.
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar, dan era penaklukan militer telah dimulai maka Khalifah Umar menganggap bahwa tugasnya yang pertama ialah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan ini. Pada tahun 635 M., Damaskus yang merupakan ibu kota Syiria ditundukkan, setahun kemudian seluruh wilayah Syiria jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal kuat itu tunduk kepada pasukan-pasukan Islam.
Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Suriah di masa Khalifah Umar tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bakar telah mengirim pasukan besar di bawah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Front Syiria. Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke Front Irak untuk membantu pasukan di Syiria. Dengan gerakan secepat kilat Khalid menyeberangi guru pasir luas ke arah Syiria. Ia bersama Abu Ubaidah bin Jarrah mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu wafatlah Khalifah Abu Bakar, dan diganti dengan Umar bin Khaththab. Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar diberhentikan oleh Umar dan diganti oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud agar tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damaskus jatuh ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasikan muslim yang dipimpin oleh Abu Ubaidah melanjutkan penaklukan ke Hamah, Qinnisrin, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan dan Yerussalaem, kota itu dikepung oleh pasukan muslim selama empat bulan. Sehingga akhirnya dapat ditaklukkan dengan syarat harus Khalifah Umar sendiri yang menerima “kunci” kota itu, karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan muslim yang akan menghancurkan gereja-gereja.
Dari Syiria, pasukan kaum muslim melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika bagian utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir sejak tahun 30 sebelum Masehi, dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh Raja Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash meminta izin khalifah Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar di beberapa front pertempuran. Akhirnya permintaan dikabulkan juga oleh khalifah dengan mengirim 4.000 tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi tersebut. Tahun 18 H pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian menundukkan (Pelusium Al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan muslimin dan dapat ditaklukkan pada tahun 19 H. Satu demi satu kota-kota di Mesir ditaklukkan oleh pasukan muslimin. Kota Babilon juga dapat ditundukkan pada tahun 20 H setelah 7 bulan terkepung. Cyrus, pimpinan Romawi di Mesir mengajak damai dengan pasukan Islam pimpinan ‘Amr setelah melihat kebesaran dan kesungguhan pasukan muslimin untuk menguasai Mesir.
Iskandariah, ibu kota Mesir dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Ubadah bin Samit yang dikirim oleh khalifah di front peperangan Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin.[5] Perjanjian tersebut berisi beberapa hal sebagai berikut:
1.      Setiap warga negara diminta untuk membayar pajak perorangan sebanyak 2 dinar setiap tahun.
2.      Gencatan senjata akan berlangsung selama 7 bulan.
3.      Bangsa Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak akan menyerang Iskandariah dan harus menjauhkan diri dari permusuhan.
4.      Umat Islam tidak akan menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri urusan umat Kristen.
5.      Pasukan tetap Yunani harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda dan uang, mereka akan membayar pajak perseorangan selama satu bulan.
6.      Umat Yunani harus tetap tinggal di Iskandariah.
7.      Umat Islam harus menjaga 150 tentara Yunani dan 50 orang sipil sebagai sandera sampai batas waktu dari perjanjian ini dilaksanakan.
Dengan jatuhnya Iskandariah maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. Ibu kota negeri itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang dibangun oleh ‘Amr bin Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di pinggiran kota Kairo hingga kini sebagai saksi sejarah yang tidak dapat dihilangkan. Dengan Syiria sebagai basis, gerak maju pasukan ke Armenia, Mesopotamia Utara, Georgia dan Azerbaijan menjadi terbuka. Demikian juga serangan-serangan kilat terhadap Asia Kecil dilakukan selama bertahun-tahun setelah itu. Seperti halnya Yarmuk yang menentukan nasib Syiria, perang Qadisiah pada tahun 637 M. menentukan masa depan Persia. Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah Sa’ad bin Abi Waqqas untuk menundukkan kota itu. Kemenangan yang diraih di wilayah itu membuka jalan bagi gerak maju tentara muslim ke dataran Eufrat dan Tigris. Ibu kota Persia, Ctesiphon (Madain) yang letaknya di tepi sungai Tigris pada tahun itu juga dapat dikuasai. Setelah dikepung selama dua bulan, Yazdagrid III,raja Persia itu melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung Nahawan dan menundukkan Ahwaz pada tahun 22 H. Tahun 641 M/22 H seluruh wilayah Persia sempurna dikuasai. Isfahan juga ditaklukkan, demikian pula Jurjan/Georgia dan Tabristan. Azerbaijan tidak luput dari kepungan pasukan muslim. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih besar daripada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1 dapat dikalahkan sehingga menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Kaum muslimin menyebut sukses ini dengan “Kemenangan dari segala kemenangan” (Fathul Futuh).
Perebutan atas kekuasaan yang strategis tersebut berlangsung dengan cepat dan memberi prestise di mata dunia. Suatu tenaga yang tidak diperkirakan seakan-akan digerakkan oleh kekuatan gaib telah meluluhlantakkan Kerajaan Persia dan Romawi. Operasi-operasi militer yang dilakukan oleh Khalid bin Walid, ‘Amr bin Ash dan lain-lain di Irak, Syiria, dan Mesir termasuk yang paling gemilang dalam sejarah ilmu siasat perang dan tidak kalah jika dibandingkan dengan Napoleon, Hanibal atau Iskandar Zulkarnain.[6]
Pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bersamaan dengan keberhasilan ekspansi di atas. Khalifah Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. Umar mendirikan beberapa dewan, membangun baitul mal, mencetak mata uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal batas, mengatur gaji, mengangkat para hakim dan menyelenggarakan “hisbah”.
Khalifah Umar juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekhalifahan bagi Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik untuk Umar sendiri maupun untuk bawahannya sehingga tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat. Kehidupan khalifah memang  merupakan penjelmaan yang hidup dari prinsip-prinsip egaliter dan demokratis yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara.
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainya kemaslahatan umat Islam. Misalnya mengenai kepemilikan tanah-tanah yang diperoleh dari suatu peperangan (ghanimah). Khalifah umar membiarkan tanah digarap oleh pemiliknya sendiri di negeri yang telah ditaklukkan dan melarang kaum muslimin memilikinya karena mereka menerima tunjangan dari baitul mal atau gaji bagi prajurit yang masih aktif. Sebagai gantinya, atas tanah itu dikenakan pajak (Al-Kharaj).
Begitu pula Umar meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada ‘orang yang dijinakkan hatinya’ (Al-Muallafat Qulubuhum) mengenai syarat-syarat pembiarannya. Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam ke arah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh yang telah ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi di pagi buta itu. Khalifah terluka parah, dari pembaringannya ia mengangkat “Syura” (komisi pemilih) yang akan memilih penerus tongkat kekhalifahannya. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharram 23 H/644 M.[7] 
B.     KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN (23-36 H/644-656 M)
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian besar hartanya digunakan untuk kepentingan agama Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putri Rasulullah secara berurutan setelah yang satu meninggal.
Ustman juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraiys terhadap muslimin di Makkah, dan ikut hijrah ke Abesinia beserta istrinya. Utsman menyumbang 950 ekor unta dan 50 bagal serta 1.000 dirham dalam ekspedisi untuk melawan Bezantium di perbatasan Palestina. Ia juga membeli mata air orang-orang Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk diwakafkan bagi kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan hadist kurang lebih 150 hadist. Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya Umar ditunjuk secara langsung sedangkan Utsman diangkat atas peninjukan tidak langsung, yaitu memlalui badan Syura yang dibentuk Umar sebelum wafatnya.
Khalifah Umar membentuk komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah menunjuk salah satu untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi dia hanya mempunyai hak pilih dan tidak berhak dipilih.[8]
Masa pemerintahan Utsman adalah masa terpanjang dari semua khalifahdi zaman Khulafah Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa pemerintahannya baik dan sukses. Para penulis sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode, enam tahun pertama adalah masa kejayaannya dan enam tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Pada tahun awal pemerintahannya Utsman  mampu menaklukkan daerah Tripoli, Ciprus dan daerah lainnya.[9] Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaiaan ekspedisi militer yang terencana secara cermat dan simultan disemua front. Di mesir pasukan muslim diintruksikan untuk memasuki Afrika Utara.
Salah satu pertempuran penting di sini adalah “Zatis Sawari” (Peperangan Tiang Kapal) yang terjadi di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Abi Sarah. Dinamakan peperangan tiang kapal karena dalam peperangan ini banyak menggunakan kapal yaitu sebanyak 1.000 kapal, dari pihak muslim sendiri sebanyak 200 kapal sedangkan sisanya adalah kapal pasukan Romawi. Pasukan muslim menang, dan bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasan di Irak, dan dari Kuffah menyerang beberapa provinsi di sekitar Laut Kaspia.[10]
Karya monumental lain yang dipersembahkan Utsman kepada umat Islam adalah penyusunan kitab suci Al-Qur’an. Maksud penyusunan Alqur’an yaitu untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan Alqur’an. Ketua dewan penyusunan Alqur’an adalah Zaid bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkannya antara lain adalah Hafsah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Kemudian dewan tersebut membuat salinannya untuk dikirim ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.
Setelah melewati saat-saat gemilang, pada paruh terakhir masa pemerintahannya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri oleh orang-orang yang kecewa atas beberapa kebijakan khalifah dan tabiatnya. Sebenarnya dari awal masa pemerintahannya kekacauan itu sudah dimulai.
Utsman dipilih karena sebagai calon yang konservatif, ia adalah orang yang saleh dan baik. Namun kurang menguntungkan karena Utsman terlalu terikat oleh kepentingan orang Makkah, khususnya kaum Quraiys dari Bani Umayyah. Oleh karena itu Utsman berada dalam pengaruh dominasi sanak saudaranya yaitu Bani Umayyah. Kelemahan dan nepotisme membawa kebencian rakyat kepada Utsman yang menjadi pertikaian mengerikan di kalangan umat Islam.
Ketika Utsman mengangkat sepupunya Marwan bin Hakam, ia dituduh mementingkan diri sendiri dan keluarganya untuk menjadi sekretaris utamanya. Begitu pula ketika menempatkan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur di Suria, Irak, dan Mesir, segera timbul kebencian dan rasa tidak percaya dari rakyat. Ditambah lagi mendapat tuduhan bahwa kerabat-kerabat khalifah mendapat harta pribadi dengan mengorbankan kekayaan umum dan tanah negara. Hakam ayah Marwan mendapat tanah Fadah, Marwan menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah negara Suria dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli.[11]
Situasi politik saat itu benar-benar mencekam. Sampai-sampai maksud baik membukukan Alqur’an yang telah terlaksana pun disalahpahami oleh rakyat. Banyak pihak yang mengecam dan menuduh bahwa Utsman tidak berhak menerapkan edisi Alqur’an yang dibakukan itu, dengan dakwaan bahwa Utsman menyalahgunakan kekuasaan keagamaan yang dimiliki.
Utsman telah berupaya membela diri dan melakukan tindakan politis sebatas kemampuannya. Tuduhan pemborosan uang negara, Utsman menepis dengan keras tuduhan keji ini. Benar bahwa ia banyak membantu saudara-saudaranya dari bani Umayyah, tapi itu semua dari kekayaan pribadinya. Bukan dari kas negara, bahkan Khalifah Utsman tidak mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjabat sebagai khalifah ia jatuh miskin karena selain untuk membantu sanak saudaranya, juga seluruh waktu Utsman untuk umat muslim, sehingga tidak ada waktu untuk mengumpulkan harta lagi.
Di Kuffah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menolak gubernur yang diangkat oleh khalifah. Hasutan paling keras terjadi di Mesir, rakyat menolak Abdullah sebagai pengganti ‘Amr bin Ash, dan juga masalah pembagian ghanimah. Pemberontak berhasil mengusir Abdullah dan berarak-arakan menuju Madinah menuntut khalifah. Pemberontak dari Kuffah dan Basrah juga ikut bergabung, dan khalifah mengabulkan permintaan mereka, dan menjadikan Muhammad bin Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir.
Mereka puas dan kembali ke negerinya masing-masing, tapi dalam perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh Marwan bin Hakam, sekretaris pribadi khalifah, sehingga mereka meminta Marwan diserahkan, namun Utsman menolak dan Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikannya secara damai, tetapi ppara pemberontak menolak. Mereka mengepung rumah Utsman dan membunuhnya ketika khalifah sedang membaca Alqur’an, pada tahun 35 H/17 Juni 656 M. Akan tetapi menurut Lewis, pusat oposisi sendiri adalah dari Madinah, Zubair, Thalhah, dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia melawan khalifah, dengan memanfaatkan pemberontak yang datang ke Madinah untuk melampiaskan dendamnya yang meluap-luap.[12]

C.    KHALIFAH ALI  BIN ABI THALIB (36-41 H/ 656-661 M)
1.      Proses Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah.setelah Utsman terbunuh,kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin AbiThalib, Thalhah Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khatthab agar bersedia menjadikhalifah, manun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lenih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ia didatangi beberpa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab,ia meghendaki agar urusan itu diselesaikan secara musyawarah dan mendapat persetujuan dari para sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yng lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta para sahabat seperti, Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa sahabat yang senior seperti Abdullah bin Umar bin Khatthab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin AbiWaqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali.Ibn Umar bin Saad misalnya bersedia dibai’at kalau seluruh rakyat sudah berbai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka berbai’at secara terpaksa. Riwayat lain mengatakan mereka bersedia membai’at jika mereka nanti diangkat menjadi Gubernur di Khufah dan Basrah. Akan tetapi riwayat lain menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair bersama kaum Anshar dan Muhajirin yang meminta kepada Ali agar sedia dibai’at menjadikhalifah. Mereka menyatakan bahwa tidak ada pilihan lain, kecuali memilih Ali.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum Muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka terssebar diwilah-wilayah taklukan baru dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada ditanah Hijaz (Mekah, Madinah dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah Arab. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap knfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam.alasan yang dikemukakan karena Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman..[13]
2.      Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthallib. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad SAW.yang kemudian menjadi menantunya karena menikahi puteri Nabi Muhammad SAW,yaitu Fatimah. Ia telah ikut bersama Rasulullah SAW sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekah. Ia masuk Islam ketika usianya sangat muda dan termasuk orang pertama masuk Islam dari golongan pria. Pada saat Nabi menerima wahyu pertama, Ali berumur 13 tahun, menurut A.M Saban, sedangkan menurut Mahmudunnasir, Ali berumur 9 tahun.
Mahmudunnasir selanjutnya menulis bahwa Ali termasuk salah seorang yang baik dalam memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal sebagai seorang orator. Ia juga seorang pandai dan bijaksana, sehingga ia menjadi penasihat pada zaman khalifah Abu Bakar,Umar dan Utsman. Ia mengikuti hampir semua peperangan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Ia tidak sempat membai’at Abu Bakar karena sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW. Dan keturunan Nabi Muhammad SAW berkelanjutan dari beliau.
Menurut Ali Mufrodi, setelah wafatnya Utsman bin Affan, banyak sahabat yang sedang mengunjungi wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, yang diantaranya adalah Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menyebabkan perpecahan dikalangan umat Islam menjadi empat golongan yakni: (1) pengikut Utsman, yaitu yang menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan dan mengajukan Muawiyyah menjadi khalifah; (2) pengikut Ali, yang mengajukan Ali sebagai khalifah; (3) kaum moderat, tidak mengajukan calon, menyerahkan urusannya kepada Allah;(4) golongan yang brpegang pada prinsip jama’ah diantaranya, Salan bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamahbin Zaid, dan Muhammad bin Maslamah yang diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa Utsman dan Ali sama-sama sebagai pemimpin.[14]
Persoalan pertama adalah Ali menyingkirkan dua saingan utama kekhalifahan, yaitu Thalhah dan Zubair yang mewakili kelompok Mekkah. Keduanya memiliki pengikut kelompok Hijaz dan Iraq yang tidak mau mengakui kekhalifahan Ali. Umm al-Mukminin Aisyah yang tidak mencegah tapi justru membantu para pemberontak atau pembunuh Utsman dan kini bergabung dengan mereka menentang Ali di Bashrah. Sebab barangkali Ali yang telah melukai kehormatannya, karena suatu ketika,saat Aisyah tertingal sendirian dibelakang barisan rombongan Nabi Muhammad SAW,Ali mencurigainya telah berbuat mesum, maka turun ayat Q.S Annur: 11-20 yang memihk Aisyah. Diluar Bashrah pada 9 Desember 656 Ali berperang mengalahkan pasukan gabungan dalam pertempuran yang dikenal dengan perang Jamal/Unta karena Aisyah pada waktu itu menunggangi seekor unta. Thalhah dan Zubair gugur terbunuh pada malam hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya, sementara Aisyah kalah dlam peperangan dan tertangkap. Ali dengan penuh hormat memulangkan Aisyah ke Madinah.[15]
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari Gubernur Damaskus, Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil meredamkan pemberontaan Thalhah dan Zubair dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran yang terjadi disini dikenal dengan perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim ( arbritase), tapi tahkim ternyata tidak meneyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan munculnya golongan ketigaal-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya diujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpcah menjaditiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah, dan Al-Khawarij. Keadaan ini tidak megnuntungkan Ali. Munculnya kelompokal-Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan40 H (660 M), Ali terbunuh oleh satu seorang anggota Khawarij.
Kedududkan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberpa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umatIslam kembali dalam satu kepemimpinan politik,dibawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain,perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun Jama’ah.[16]





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pengertian  Khulafaur Rasyidin
Adalah para pemimpin pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil, bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat petunjuk dari Allah. Tugas Khulafaur Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan kaum muslimin.
2.      Peradaban Islam masa Khulafaaur Rasyidin
a.       Masa Abu Bakar As-Shiddiq  (11-13 H/ 632-634 M)
Sulitnya mencari pengganti Rasulullah untuk memimpin masyarakat Madinah yang sudah mulai tertata dan berperadaban. Sampai akhirnya keputusan jatuhke tangan Abu Bakar As-Shiddiq dan mayoritas umat Islam berbai’at kepadanya.
b.      Masa Umar bin Khattab (13-23 H/ 634-644 M)
Terpilihnya Umar bin Khattab sebagai Khalifah, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar. Ia mendapatkan mandat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukkan atau wasiat oleh pendahulunya. Abu Bakar sebelum meninggal pada tahun 634M/13H telah menunjuk Umar sebagai penggantinya.
c.       Masa Utsman bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa setelah Umar bin Khattab meninggal, Utsman bin Affan yang menggantikan kedudukan Umar sebagai khalifah umat Islam berdasarkan musyawarah sejumlah sahabat senior.
d.      Masa Ali bin Abi Thalib (36-41 H/ 656-661 M)
Sepeninggal Utsman bin Affan, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib. Ali memerintah selama 4 tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Hampir tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil.

B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami sajikan pada pembaca. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan yang kami tulis. Kami menghaarap kritik dan saran dari pembaca agar dalam penulisan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi. Semoga dari apa yang telah kami tulis dalam makalah ini dapat diambil manfaatnya sebagai ilmu tambahan bagi pengetahuan pembaca.



























DAFTAR PUSTAKA

Amin, Syamsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: Amzah
Fuadi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: PUSTAKA BOOK PUBLISHER
Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada
http://abdimanfaat.blogspot.com/2014/02/peradaban-islam-pada-masa-khulafaur.html




[1] http://abdimanfaat.blogspot.com/2014/02/peradaban-islam-pada-masa-khulafaur.html
[2] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras,2011) hlm.21-30
[3] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.98-99
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.99-100

[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.100-101

[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.101-102

[7] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.102-104

[8] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 104
[9] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 22
[10] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 105
[11] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 107
[12] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (AMZAH, Jakarta : 2010). Hlm. 108
[13]. Supriyadi, M.Ag Sejarah Peradaban Islam.(Bandung: Pustaka Setia, 2008),hlm.93-95
[14] Supriyadi, M.Ag Sejarah Peradaban Islam.(Bandung: Pustaka Setia, 2008)hlm.95-96
[15] M.Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam.(Yogyakarta: PUSTAKA BOOK PUBLISHER 2007).hlm.106
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2003). Hlm.40